sebuah tulisan yang diambil dengan judul yang sama dari buku Lelaki
Penggenggam Hujan bab 54
Sebagai seseorang yang dipimpin
oleh orang lain, terkadang ada beberapa hal atau bahkan beberapa keputusan yang
tidak kita pahami pada awalnya. Keputusan yang mungkin berbeda dengan sudut
pandang kita, disadari atau tidak dapat menyebabkan kedongkolan dan kekecewaan di hati jika kita tidak menerima
keputusan tersebut dengan ikhlas. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena kita
belum memahami apa yang menjadi latar belakang keputusan tersebut atau kita
tidak yakin dengan perkembangan yang akan terjadi di kemudian hari. Kisah
berikut ini semoga bisa menjadi inspirasi kita semua dalam menghadapi suatu
keputusan.
Sebelum perjanjian Hudaibiyah
antara kaum Muslimin dan kaum kafir Quraisy, kaum muslimin sedang dalam
perjalanan menuju Mekkah untuk melaksanakan umrah. Ribuan kaum muslimin
bepergian dari Madinah menuju Mekkah dengan membawa hewan-hewan kurban dan
pakaian umrah. Tidak biasanya, Qaswa sang unta Nabi sempat mengalami ‘mogok
jalan’ di tengah-tengah perjalanan seolah-olah akan terjadi sesuatu yang
menghambat kepergian mereka ke tanah suci. Di sisi lain, pihak Quraisy merasa
terancam dengan kehadiran ribuan kaum muslimin. Meskipun utusan dari umat Islam
telah memberitahukan bahwa kedatangannya mereka tidak untuk berperang, tetapi
pihak Quraisy belum bisa meyakininya. Hingga akhirnya terjadilah perjanjian
Hudaibiyah yang secara kasat mata memiliki banyak kerugian bagi pihak Muslim.
Salah satunya, mereka harus kembali pulang ke Madinah dan tidak dapat melaksanakan
umrah pada waktu itu. Di samping itu, pihak kaum Muslimin yang tidak
mendapatkan izin dari walinya di Mekkah tidak diizinkan untuk menyebrang ke
Madinah.
Salah seorang yang meragukan
keputusan itu ialah Umar bin Khattab. Keraguan Umar bin Khattab ini pun
berhasil dipatahkan oleh turunnya ayat Al-Quran yang berbunyi “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
kemenangan yang nyata. Sesungguhnya, Allah telah ridha terhadap orang-orang
mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui
apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan
memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya..”
Seperti ingin mengkonfirmasi
keputusan yang diragukan oleh Umar bin Khattab tersebut, dua orang mukmin dalam
rombongan menjelaskan mengenai kehebatan Rasulullah dalam melakukan perjanjian
ini. Simak kisahnya (dari hal 390-391 buku yang sama di atas) :
“Tidakkah orang-orang menyadari
betapa jeniusnya Rasulullah? Beliau membaca tanda-tanda dan menilai setiap
peristiwa. Penilaian awal kita terhadap perjanjian dengan orang-orang Makkah
itu sepenuhnya keliru. Kita tidak paham kedalaman keyakinan akan keadilan Allah
yang dimiliki Rasulullah. Kita juga tidak menghargai kejelian intelegensi dan
kejeniusan strategi beliau.”
“Apa yang engkau maksud tadi
tentang membaca tanda-tanda?” Tanya lelaki kedua
“Ketika Qaswa, unta Rasulullah
berhenti di Hudaibiyah sedangkan beliau yakin bahwa untanya itu bukan
tunggangan yang malas, aku yakin beliau sudah membaca pertanda bahwa kita tidak
bisa mengunjungi Ka’bah tahun ini. Begitu juga dengan negosiasi beruntun yang
tak kunjung mendapatkan hasil. Itu pertanda bahwa urusan kita dengan orang
Makkah butuh kesabaran yang lebih.”
“Aku jadi berpikir”, ujar lelaki
kedua lagi,”baiat terhadap beliau pun menjadi berubah arah. Dari sumpah setia
untuk menyatukan kekuatan fisik jika orang-orang Quraisy menyerang dan kita
terpaksa berperang, menjadi sumpah setia yang menuntut kita untuk menerima
perjanjian damai dengan lapang dada”
“Aku malah mulai percaya, tidak
ada satu butir pun perjanjian Hudaibiyah yang merugikan kaum Muslim” lelaki
pertama kembali menimpali
“Termasuk mengenai pertukaran
tawanan yang tidak adil itu?” Tanya lelaki kedua lagi
“Ya. Coba engkau pikir, seorang
Muslim yang lari dari Madinah berhak mendapat perlindungan di Makkah, tetapi
tidak sebaliknya. Apa yang buruk dari perjanjian itu? Seorang Muslim yang kabur
dari Madinah, dia sudah tidak berguna bagi umat. Tidak ada ruginya jika dia
tidak kembali sekalipun. Sebaliknya, jika seorang Muslim dari Makkah hendak ke
Madinah wajib dikembalikan ke Mekkah. Engkau tahu setiap Muslim memiliki
kepasrahan total. Sejak awal agama ini dibangun pun hidup kita telah penuh
siksaan para penyembah berhala di Mekkah. Dan Engkau tahu, kita tidak pernah
surut dalam meyakini agama ini meskipun nyawa kita taruhannya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar