Menu

Selasa, 29 Januari 2013

Kemenangan yang Nyata



sebuah tulisan yang diambil dengan judul yang sama dari buku Lelaki Penggenggam Hujan bab 54

Sebagai seseorang yang dipimpin oleh orang lain, terkadang ada beberapa hal atau bahkan beberapa keputusan yang tidak kita pahami pada awalnya. Keputusan yang mungkin berbeda dengan sudut pandang kita, disadari atau tidak dapat menyebabkan    kedongkolan dan kekecewaan di hati jika kita tidak menerima keputusan tersebut dengan ikhlas. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena kita belum memahami apa yang menjadi latar belakang keputusan tersebut atau kita tidak yakin dengan perkembangan yang akan terjadi di kemudian hari. Kisah berikut ini semoga bisa menjadi inspirasi kita semua dalam menghadapi suatu keputusan.

Sebelum perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslimin dan kaum kafir Quraisy, kaum muslimin sedang dalam perjalanan menuju Mekkah untuk melaksanakan umrah. Ribuan kaum muslimin bepergian dari Madinah menuju Mekkah dengan membawa hewan-hewan kurban dan pakaian umrah. Tidak biasanya, Qaswa sang unta Nabi sempat mengalami ‘mogok jalan’ di tengah-tengah perjalanan seolah-olah akan terjadi sesuatu yang menghambat kepergian mereka ke tanah suci. Di sisi lain, pihak Quraisy merasa terancam dengan kehadiran ribuan kaum muslimin. Meskipun utusan dari umat Islam telah memberitahukan bahwa kedatangannya mereka tidak untuk berperang, tetapi pihak Quraisy belum bisa meyakininya. Hingga akhirnya terjadilah perjanjian Hudaibiyah yang secara kasat mata memiliki banyak kerugian bagi pihak Muslim. Salah satunya, mereka harus kembali pulang ke Madinah dan tidak dapat melaksanakan umrah pada waktu itu. Di samping itu, pihak kaum Muslimin yang tidak mendapatkan izin dari walinya di Mekkah tidak diizinkan untuk menyebrang ke Madinah.


Salah seorang yang meragukan keputusan itu ialah Umar bin Khattab. Keraguan Umar bin Khattab ini pun berhasil dipatahkan oleh turunnya ayat Al-Quran yang berbunyi “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Sesungguhnya, Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya..”

Seperti ingin mengkonfirmasi keputusan yang diragukan oleh Umar bin Khattab tersebut, dua orang mukmin dalam rombongan menjelaskan mengenai kehebatan Rasulullah dalam melakukan perjanjian ini. Simak kisahnya (dari hal 390-391 buku yang sama di atas) :

“Tidakkah orang-orang menyadari betapa jeniusnya Rasulullah? Beliau membaca tanda-tanda dan menilai setiap peristiwa. Penilaian awal kita terhadap perjanjian dengan orang-orang Makkah itu sepenuhnya keliru. Kita tidak paham kedalaman keyakinan akan keadilan Allah yang dimiliki Rasulullah. Kita juga tidak menghargai kejelian intelegensi dan kejeniusan strategi beliau.”

“Apa yang engkau maksud tadi tentang membaca tanda-tanda?” Tanya lelaki kedua

“Ketika Qaswa, unta Rasulullah berhenti di Hudaibiyah sedangkan beliau yakin bahwa untanya itu bukan tunggangan yang malas, aku yakin beliau sudah membaca pertanda bahwa kita tidak bisa mengunjungi Ka’bah tahun ini. Begitu juga dengan negosiasi beruntun yang tak kunjung mendapatkan hasil. Itu pertanda bahwa urusan kita dengan orang Makkah butuh kesabaran yang lebih.”

“Aku jadi berpikir”, ujar lelaki kedua lagi,”baiat terhadap beliau pun menjadi berubah arah. Dari sumpah setia untuk menyatukan kekuatan fisik jika orang-orang Quraisy menyerang dan kita terpaksa berperang, menjadi sumpah setia yang menuntut kita untuk menerima perjanjian damai dengan lapang dada”

“Aku malah mulai percaya, tidak ada satu butir pun perjanjian Hudaibiyah yang merugikan kaum Muslim” lelaki pertama kembali menimpali

“Termasuk mengenai pertukaran tawanan yang tidak adil itu?” Tanya lelaki kedua lagi

“Ya. Coba engkau pikir, seorang Muslim yang lari dari Madinah berhak mendapat perlindungan di Makkah, tetapi tidak sebaliknya. Apa yang buruk dari perjanjian itu? Seorang Muslim yang kabur dari Madinah, dia sudah tidak berguna bagi umat. Tidak ada ruginya jika dia tidak kembali sekalipun. Sebaliknya, jika seorang Muslim dari Makkah hendak ke Madinah wajib dikembalikan ke Mekkah. Engkau tahu setiap Muslim memiliki kepasrahan total. Sejak awal agama ini dibangun pun hidup kita telah penuh siksaan para penyembah berhala di Mekkah. Dan Engkau tahu, kita tidak pernah surut dalam meyakini agama ini meskipun nyawa kita taruhannya”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar